CT Foundation dan Rumah Anak Madani


Sudah pukul sebelas malam, baru saja aku membaca suatu bab dari buku yang sudah selama seminggu ini menjadi bahan bacaan rutin buatku. Sebuah buku autobiografi seorang tokoh yang luar biasa. Seorang tokoh yang telah berhasil menjadikan dirinya sukses, mulia, dan memberi manfaat yang sangat besar bagi orang banyak. Seorang tokoh pertelevisian Indonesia, seorang bankir, seorang pengusaha besar dan seorang tokoh nasional yang jauh dari gegap gempita publikasi demi sebuah pencitraan yang sedang marak di negara ini. Sebenarnya tidak banyak yang aku tahu tentang beliau sebelum aku membaca buku autobiografinya ini, malam ini, walaupun belum sepenuhnya aku menyelesaikan bacaanku.

Sekilas memang nama beliau sudah tidak asing lagi ditelingaku. Sekitar satu tahun yang lalu, tepatnya sekitar bulan April 2011, aku dan beberapa orang temanku mengikuti sebuah seleksi untuk menjadi seorang tenaga pengajar pada salah satu sekolah unggulan yang ada di kota Medan. Dari informasi yang aku dengar dari kawan-kawan, sekolah unggulan itu beliaulah yang mendirikan. Jujur, pada waktu itu motivasi yang mendorong aku untuk mengikuti rangkaian proses seleksi yang diadakan sekolah itu mulai dari psikotes, tes kemampuan berbahasa inggris, sampai pada sesi wawancara, hanya sebatas karena ingin menguji diri, sudah sejauh mana kemampuanku sebagai seorang pengajar. Aku rasa itu adalah suatu momentum yang sangat tepat, karena proses seleksi itu diikuti oleh sejumlah pengajar muda berkualitas dari seluruh penjuru kota medan. Mulai dari guru-guru sekolah favorit sampai senioranku di kampus dulu. Jadi aku berpikir, proses seleksi itu bisa menjadi ajang untuk menguji sudah sejauh apakah kemampuanku dibandingkan dengan kawan-kawan yang lain. Suatu motivasi yang terdengar sedikit sombong memang, tapi itu dulu, sebelum aku mengetahui secara mendalam tentang latar belakang pendirian sekolah unggulan itu, mudah-mudahan Allah mengampuniku.

Ketika itu aku berhasil melewati sesi tes tertulis baik psikotes maupun tes kemampuan bahasa inggris dengan baik, untuk kemudian pada hari kedua setelah tes tertulis itu aku diminta untuk hadir kembali di lokasi tes untuk mengikuti sesi wawancara. Setibanya di lokasi, kulihat jumlah peserta yang hadir sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan seleksi tertulis kemarin. Perkiraanku hanya 20% dari total jumlah peserta seleksi yang hadir pada hari pertama. Lebih lengkap lihat disini


Memasuki ruangan wawancara, tidak ada perasaan tegang sedikitpun yang aku rasakan. Bahkan antara aku dan pewawancara ketika itu tidak lebih seperti ngobrol dan berdiskusi saja. Sama sekali tidak terasa aura ketegangan suatu sesi wawancara sebagaimana yang aku dengar dan baca selama ini. 

Setelah sedikit bertanya tentang hal-hal dasar terkait bidang studi yang menjadi jurusanku sewaktu kuliah dulu dan  CV yang aku lampirkan, pewawancara yang terdiri dari seorang bapak paruh baya dan seorang ibu guru muda mulai menanyakan suatu hal yang sedikit lebih serius. Aku ingat betul pertanyaan yang mereka ajukan pada waktu itu. Pertanyaan terkait bagaimana cara mengatasi perbedaan kemampuan belajar siswa di kelas dan satu lagi terkait dengan cara mengajarkan konsep mata pelajaran di tengah bentuk evaluasi Negara yang cenderung lebih bersifat kuantitatif daripada kualitatif. Kedua pertanyaan itu aku jawab seadanya, tidak dengan intonasi layaknya seseorang yang sedang diwawancarai tetapi lebih kepada intonasi seperti layaknya orang sedang berdiskusi dan bicara santai. Tiga puluh menitpun berlalu, tanpa terasa sesi wawancara itupun berakhir, ditutup dengan satu komentar dari bapak paruh baya itu. Suatu komentar yang terdengar lepas dan ringan meluncur keluar dari mulut beliau. Dengan nada santai beliau berujar, “ diantara para peserta wawancara yang lain, baru kali ini saya berbicara panjang lebar tentang suatu topic. Ya, baru dengan anda”. Cek DISINI untuk lebih lengkapnya.

Sudah, sampai disitu saja aku mengikuti proses seleksi itu. Bukan karena aku tidak lulus dalam sesi wawancara sebagaimana yang aku ceritakan sebelumnya, tidak, sama sekali bukan karena itu. Keeseokan harinya panitia kembali mengundangku untuk datang dan mengikuti tahapan seleksi selanjutnya yaitu tes mengajar atau yang lebih dikenal dengan mikro teaching. Namun aku tidak memenuhi undangan itu,  karena pada saat yang bersamaan, pada hari itu, pada pagi itu, aku sedang menjalani serangkaian acara wisuda untuk gelar sarjana yang lebih kurang sudah lima tahun belakangan ini aku perjuangkan.

Setahun telah berlalu, sekitar awal bulan Agustus 2012 kemarin, salah satu staf dari sekolah unggulan itu kembali menghubungiku dan menanyakan kesediaanku untuk menjadi pengajar di sekolah tersebut. Kali ini tanpa proses seleksi yang panjang seperti sebelumnya, aku memberikan jadwal kosong yang aku punya dan langsung mengajar. Sama sekali tidak ada prosedur seleksi seperti yang dulu-dulu. Tidak tahu apa yang mendasari mereka untuk kembali menanyakan kesediaanku. Namun, dengan beberapa pertimbangan jadwal mengajar di tempat lain, aku putuskan tidak menerima tawaran itu dan aku rekomendasikan agar mereka menghubungi beberapa teman yang aku rasa bisa dan benar-benar sedang membutuhkan pekerjaan itu.

Malam ini, setelah membaca salah satu bab dari buku itu, aku jauh lebih memahami dan mengerti tujuan awal dan latar belakang pendirian sekolah unggulan itu. Sekaligus muncul sedikit penyesalan dalam diriku mengapa aku tidak menerima tawaran mereka dulu. Setelah aku baca satu bab itu ternyata semua siswa-siswi yang belajar di sekolah itu hanyalah siswa-siswi yang berasal dari keluarga dengan keadaan ekonomi yang serba kekurangan, namun mereka memiliki tingkat intelijensi di atas rata-rata. Singkatnya, mereka adalah anak-anak dengan tingkat kecerdasan tinggi namun tersandung oleh masalah biaya untuk melanjutkan sekolah. Anak-anak yang berpotensi menjadi orang yang berpengaruh di masa depan, anak-anak yang memiliki masa depan yang cerah, dan anak-anak yang berpeluang besar menjadi salah satu pemimpin di Negara ini. Dari bab itu akhirnya aku juga mengetahui bahwa semua biaya operasional pendidikan di sekolah itu berasal dari dana pribadi beliau, yang sengaja di sedekahkan untuk membangun peradaban bangsa ini yang lebih baik kedepannya. Peradaban bangsa yang penuh dengan nilai-nilai keamanahan, peradaban bangsa yang penuh dengan nilai-nilai keTuhanan, dan peradaban bangsa yang penuh dengan nila-nilai keadilan.

Mungkin, ketika untuk kedua kalinya itu mereka menanyakan kesediaanku, itu merupakan jalan yang diberikan Tuhan, yang diberikan Allah kepadaku untuk dapat lebih berarti bagi orang lain, tentunya dalam kaitannya dengan kapasitas keilmuan yang aku miliki. Ya, semoga saja Allah akan memberikan kesempatan yang lain untuk dapat mengamalkan ilmu yang telah dititipkanNya, kesempatan yang insyaAllah akan aku gunakan sebaik-baiknya sebagai salah satu cara untuk melayakkan aku untuk dapat menatap wajah-Nya kelak,  di surga-Nya ..


Iklan:
Kunjungi Salam Aqiqah Untuk Kebutuhan Aqiqah Anda.

Komentar